JAMBI (SR28) – Indonesia adalah sebuah negara kepulauan di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Oseania sehingga dikenal sebagai negara lintas benua, serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia memiliki banyak kekayaan warisan budaya salah satunya candi.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk pada sebuah bangunan keagamaan tempat beribadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Istilah candi tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, tetapi juga sebagai istana, pemandian atau pertitaan, gapura dan lain sebagainya. Candi hampir tersebar di seluruh Nusantara dari Sabang hingga Merauke, dengan berbagai keunikan dan ciri khasnya masing-masing.
Jambi adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir timur, di bagian tengah Pulau Sumatra dengan ibu kota di Kota Jambi. Kemudian Kota Jambi resmi menjadi ibu kota provinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan Undang-Undang nomor 61 tahun 1958. Nama “Melayu” berasal dari Kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang Hari, Jambi, yang juga membuat Jambi dikenal dengan julukan “Bumi Melayu”.
Candi Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian di Jambi. Dilansir dari website resmi Provinsi Jambi, Kompleks percandian Muaro Jambi yang di dalamnya tersimpan lebih dari 80 reruntuhan candi dan sisa-sisa permukiman kuno dalam rentang abad IX-XV Masehi. Candi Muaro Jambi diyakini sebagai salah satu pusat pengembangan agama Buddha di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Candi Muaro Jambi merupakan sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha yang terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektar. Kompleks percandian ini terletak di Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia. Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke-7 sampai abad ke-12 Masehi. Sejak 2009 candi Muaro Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Warisan Dunia.
Kompleks Percandian Muaro Jambi pertama kali ditemukan oleh letnan Inggris pada tahun 1824 bernama S.C. Crooke. Pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran yang serius dipimpin R. Soekmono. Pemugaran ini berhasil menemukan sembilan bangunan dan semua bercorak Buddhisme di antaranya yaitu Candi Gumpung, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, Kotomahligai dan yang terakhir Candi Astano. Dari banyak penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan daerah itu dulu dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada berbagai manik-manik yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti Persia, China dan India. Agama yang dianut adalah Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan ditemukannya lempeng yang bertuliskan “wajra” pada beberapa candi yang membentuk mandala.
Kompleks Candi Muaro Jambi pernah digunakan sebagai tempat peribadatan dan belajar agama Buddha, karena ditemukan corak Buddhisme serta penemuan tulisan aksara Jawa Kuno. Hingga saat ini sudah teridentifikasi 110 bangunan candi terdiri dari 39 kelompok candi. Konon katanya jika berkunjung ke kompleks candi ini bersama pasangan maka cintanya bisa putus di tengah jalan, namun mitos itu hanya berlaku bagi pengunjung yang sedang berpacaran. Penduduk setempat selalu mengingatkan kepada pasangan kekasih yang berkunjung ke candi ini akan putus cinta, dan juga di Candi Kembar Batu konon menjadi daerah perlintasan makhluk astral.
Mitos-mitos yang berkembang hingga saat ini masih dipercayai oleh masyarakat setempat dan para pengunjung yang datang, mitos lainnya yaitu adanya sosok seorang putri cantik yang menggunakan selendang berwarna emas dan memakai mahkota emas, berada di Candi Tinggi. Selain itu ada sosok tinggi besar penghuni pohon di dekat Candi Gumpung.
Dengan segala manfaat dan peranannya, kompleks percandian Muaro Jambi merupakan aset berharga yang harus dijaga dan dilestarikan. Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait sangat penting untuk memastikan kompleks percandian ini terus memberikan manfaat dan pelajaran bagi generasi saat ini serta generasi yang akan datang.
Penulis: Monika Wulan Saputri, Mahasiswi UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Nim: 603210013, Mata Kuliah: Penulisan Feature