Jakarta(SR28)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan pemeriksaan terhadap anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 di gedung merah putih Jakarta, Selasa 10 Januari 2023 sore tadi.
Ada 28 anggota dewan yang telah ditetapkan tersangka.Status mereka diungkapkan oleh pimpinan KPK, Johanis Tanak. 10 orang dilakukan penahanan.
“Untuk proses penyidikan. Ditahan sampai 29 Januari 2023,”ujar Johanis Tanak.
Mereka yang ditahan adalah Juber, Popriyanto, Ismet Kahar, Tartiniah (Golkar). Lalu 3 orang dari PKB, yakni Sofyan Ali, Muntalia dan Sainuddin. Dua dari PKS yakni Rudi Wijaya dan Supriyanto. Terakhir Sopian dari fraksi PPP.
“Yang lain diharapkan kooperatif untuk pemanggilan selanjutnya,”katanya.
Usai menjalani pemeriksaan, ke 10 anggota DPRD yang terlibat kasus ketok palu tersebut langsung ditahan.
Mereka keluar ruang gedung merah putih dengan menggunakan rompi oranye.
Kasus suap DPRD Jambi merupakan perkara suap untuk memuluskan proses ketok palu pengesahan RAPBD Provinsi Jambi tahun 2018. Dalam kasus tersebut, KPK telah lebih dahulu menetapkan sejumlah tersangka yang salah satunya adalah eks Gubernur Jambi Zumi Zola.
Selain Zumi Zola, KPK juga telah menetapkan puluhan tersangka lain dalam kasus tersebut. Sejumlah pejabat pemprov hingga anggota legislatif telah menjalani persidangan sebagai terdakwa kasus suap tersebut.
Dalam dakwaan sidang Zumi Zola, disebut dia telah menyuap 53 orang anggota DPRD Jambi agar proses ketok palu RAPBD tersebut bisa berjalan mulus.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagai Anggota DPRD yang diberi kewenangan tugas dalam pembahasan dan pengesahan anggaran daerah seharusnya bekerja dengan merepresentasikan kebutuhan rakyat. Bukan justru menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan praktik-praktik korupsi atas pengelolaan anggaran yang seharusnya untuk pembangunan daerah demi kesejahteraan rakyat.(*)