Cerita Fajar Hartawan, Cucu Mantan Pesirah yang Tanahnya Dirampas Selama Puluhan Tahun

  • Bagikan
Mantan Kepala Pesirah Marga Tungkal Ulu, M.T. Fakhruddin (duduk di depan sebelah kanan) dan M. Rosdan Fakhruddin (ditunjuk tanda panah) dalam arsip foto bersama keluarga besar. (Sumber: Dok. Pribadi)

sr28jambinews.com, Jambi-Pada tahun 1960, di KM 70 Desa Merlung, M.T. Fakhruddin yang kala itu menjabat sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Provinsi Jambi, menjadi pelopor dalam upaya pembukaan lahan hutan yang diperuntukkan untuk kebutuhan usaha perkebunan karet.

Mantan Kepala Pesirah Marga Tungkal Ulu itu juga mengajak pemerintah setempat untuk melakukan pembukaan lahan secara bersama-sama.

Selang setahun, lahan yang telah dibuka mulai ditanami dengan tanaman karet. Lahan tersebut dibagi menjadi dua bagian, di mana pada ruas sebelah kiri jalan Jambi-Merlung, tanah merupakan hak dari Pemerintah Marga Tungkal Ulu, sedangkan sebelah kanan ruas jalan menjadi hak milik M.T. Fakhruddin sebagai imbalan dari upaya pembukaan lahan hutan.

“Dulu selain kebun karet, di tanah itu kakek saya juga membuka usaha pembuatan batu-bata, tenaga kerjanya orang-orang tuna karya yang didatangkan dari Jawa,” kenang Fajar Hartawan kepada media (Minggu, 11 Juni 2023).

Fajar merupakan anak pertama dari M. Rosdan Fakhruddin, ahli waris dari M.T. Fakhruddin. Kepada media Fajar bercerita, sejak kakeknya meninggal dunia, tanah yang dulu dibuka dari KM 70 hingga 72 jalan Jambi-Merlung diurus oleh ayahnya, M. Rosdan Fakhruddin.

Fokus usaha di tanah tersebut adalah perkebunan karet.Hingga pada tahun 1995, seseorang atas nama H. Syarifuddiin datang secara tiba-tiba dan mengklaim kepemilikan tanah yang telah lama dikuasai oleh M. Rosdan.

“Tidak tahu dari mana, tiba-tiba saja datang lalu mengklaim. Bahkan dulu sempat langsung disurati sama almarhum bapak saya,” kata Fajar sembari menunjukkan selembar surat.

Dalam surat tua bertanggal 15 Juli 1995 tersebut, M. Rosdan menceritakan riwayat singkat upaya penguasaan lahan milik M.T. Fakhruddin. M. Rosdan memaparkan, usai ditanami karet tahun 1961, sebagian besar lahan dirusak oleh binatang yang ada di hutan, sehingga lahan yang telah rusak tersebut dijadikan sebagai tempat penampungan tuna karya sebanyak 215 jiwa, yang didatangkan langsung oleh Inspeksi Sosial RI (Isori) Provinsi Jambi dari Jawa, pada bulan Juni 1962.

Selain dari usaha pembuatan batu-bata yang tenaga kerjanya dari orang tuna karya, M.T. Fakhruddin juga mendirikan industri penggergajian kayu yang terdiri dari 2 unit, masing-masingnya memiliki izin dari Bupati Kabupaten Batanghari. Waktu itu lahan di KM 70-72 masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Batanghari, adapun izin yang usaha yang dimaksud masing-masing bernomor:

– Nomor 57/U. G-60, tgl. 24 Oktober 1960

– Nomor 58/U. G-60, tgl. 31 Oktober 1960

Bersamaan dengan cerita upaya penguasaan lahan milik ayahnya, M. Rosdan juga meminta pertanggung jawaban H. Syarifuddin karena secara sepihak telah menanam kelapa sawit di tanahnya. Bahkan lebih dari itu, H. Syarifuddin juga dengan tegas ingin merampas paksa lahan milik M. Rosdan.

“Sebagai salah seorang anak dari M.T. Fakhruddin (alm) dan pembantu beliau mengelola usaha-usaha di lahan (KM 70-72), maka saya bersama sejumlah orang (kelompok) akan meneruskan usaha yang telah dirintis orang tua saya 35 tahun silam itu, dengan membuka usaha perkebunan,” tutur M. Rosdan seperti dikutip dalam surat yang ditulisnya untuk H. Syarifuddin.

Kendati begitu, sampai dengan tahun 2003, keinginan M. Rosdan untuk melanjutkan usaha yang telah dirintis orang tuanya tak kunjung tercapai, pada tanggal 2 November 2003, M. Rosdan menghembuskan nafas terakhir dikarenakan sakit.

Terbitnya Sertifikat Tanah H. Syarifuddin, Menguak Adanya Indikasi KKN

Terrbitnya sertifikat tanah milik H. Syarifuddin menjadi tanda tanya besar yang belum bisa terjawab hingga kini, banyak kejanggalan manakala runutan peristiwa dikaji secara detail. Selain itu, tak begitu jelas juga alas hak terbitnya sertifikat.

Dari pengakuan Fajar Hartawan, sertifikat yang terbit di atas tanah kepemilikan orang tuanya terkesan cukup aneh, karena surat tersebut terbit secara tiba-tiba pada tanggal 23 Juni 1998.Padahal, jelas Fajar, BPN sendiri secara tegas pada tanggal 30 Mei 1997 telah melakukan pengembalian berkas permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh H. Syarifuddin, surat tersebut bernomor 520.1-296. Pengembalian berkas permohonan penerbitan sertifikat tersebut juga diiringi dengan instruksi agar permasalahan antara M. Rosdan dan H. Syarifuddin dapat lebih dulu diselesaikan.

Adapun, langkah BPN waktu itu masih dalam garis lurus Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Di mana secara keseluruhan isi, sebelum menerbitkan sertifikat, ada beberapa langkah yang harus dilalui. Pertama adalah mengenai pembuktian hak, yang dibahas dari pasal 23 hingga 29. Lalu setelahnya ada proses pembukuan tanah, dibahas di pasal 29 dan 30. Dan terakhir baru masuk pada bab penerbitan sertifikat, yang dibahas pada pasal 31 dan 32.

Mengenai instruksi BPN dalam surat pengembalian berkas pengajuan sertifikat, di mana M. Rosdan dan H. Syarifuddin diharuskan untuk menyelesaikan permasalahannya lebih dulu, sebenarnya mengacu pada arahan di bab pembuktian hak sesuai aturan yang berlaku (PP Nomor 24 tahun 1997).

Dalam hal pembuktian hak, ada dua jenis pembuktian hak, yaitu pembuktian hak baru dan hak lama. Pembuktian hak baru mengacu kepada bukti pemberian hak apabila tanah yang dimaksud berasal dari negara, atau bisa juga dengan menunjukkan akta asli PPAT jika menyangkut hak guna usaha, wakaf, dll.

Sementara itu, pembuktian hak lama dibuktikan dengan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, dan penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Untuk pengumuman yang dimaksud pada pasal 26, adalah pengumuman dari hasil penelitian alat-alat bukti kepemilikan tanah yang diteliti oleh panitia ajudikasi. Pengumuman tersebut juga dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, yaitu selama 30 hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 60 hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik.

Usai tuntas pada bab pembuktian hak, seseorang yang ingin mendapatkan pengakuan haknya (sertifikat) haruslah lebih dulu melakukan pembukuan tanah. Adapun pembukuan tanah memiliki beberapa syarat di antaranya adalah dilakukan berdasarkan alat bukti dan berita acara pengesahan.

Berita acara pengesahan yang dimaksud tertera pada pasal 28 ayat (1) dengan bunyi, setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) berakhir, data fisik dan data yuridis yang diumumkan tersebut oleh panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik disahkan dengan suatu berita acara yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri.

Pada ayat (3) ditegaskan lagi jika berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk:

a. pembukuan hak atas tanah yang bersangkutan dalam buku tanah;

b. pengakuan hak atas tanah;

c. pemberian hak atas tanah.Menarik kembali terbitnya sertifikat tanah H. Syarifuddin yang tiba-tiba, sungguh terkesan sangat aneh dan tidak masuk akal. Di mana sertifikat tersebut terbit setelah adanya pengembalian berkas permohonan sebanyak 2 kali, yaitu pada Mei 1977 dan Maret 1998.

Parahnya lagi, sertifikat yang dimaksud terbit tidak lama setelah pengembalian berkas permohonan, yaitu pada 23 Juni 1998. Padahal, butuh proses panjang dalam penerbitan sertifikat secara legal jika mengacu pada peraturan yang berlaku. Di mana BPN harus mengecek pembuktian hak, yang mesti diumumkan dengan jangka waktu paling cepat selama 30 hari. Di samping itu, juga perlu adanya proses pembukuan tanah dengan dasar berita acara pembuktian hak.

Lagi dan lagi, alas hak yang digunakan oleh pihak H. Syarifuddin masih menjadi misteri, atas dasar apa berani mengajukan permohonan penerbitan sertifikat di tanah milik orang lain.

Oleh karena banyaknya keanehan, Kepala Desa Dusun Mudo yang menjabat masa itu, Z. Aripin mengeluarkan surat pembatalan sertifikat tanah milik H. Syarifuddin di KM 70-72 Dusun Mudo, surat tersebut dikeluarkan pada tanggal 10 September 1998.

Ditinggal Lebih Dulu oleh Kakek dan Ayahnya, Ini Harapan Fajar Hartawan Soal Sengketa Lahan

“Mungkin saya tidak dapat mewujudkan mimpi ayah saya, M. Rosdan untuk melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh kakek. Tapi di dalam hati kecil saya tetap ingin agar permasalahan ini selesai,” tutur Fajar.

Fajar mengatakan, ia tidak punya maksud selain agar kedua orang tuanya yang telah meninggal bisa tenang. Perihal jalan yang ditempuh untuk penyelesaian masalah, Fajar mengaku sangat terbuka jika pihak H. Syarifuddin mau untuk berdialog bersama mencari jalan terbaik bagi kedua belah pihak.

“Harapan saya kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja, sama-sama musyawarah cari keputusan terbaik,” ucapnya.

Namun, kata Fajar, jika memang tidak ada itikad baik untuk penyelesaian secara kekeluargaan, ia menegaskan tidak akan mundur begitu saja.

Sebab, ucapnya, tanah tersebut adalah benar tanah yang telah diperjuangkan sejak lama oleh kakek dan ayahnya.

“Saya merasa punya kewajiban untuk tetap menyelesaikan soal sengketa ini, tidak mungkin kalau tanah ini saya lepas begitu saja, bukan soal materi, tapi nilai histori yang ada terlalu berharga bagi saya,” tutupnya.

  • Bagikan