JAMBI (SR28) – Hampir tengah tahun 2022 terlewati, para petani tanaman pangan yang diantaranya adalah petani padi dan palawija, mengawali dengan senyum getir. Hal ini karena tanda-tanda bahwa subsektor tanaman pangan yangnampak lesu. Salah satu indikatornya adalahNilai Tukar Petani (NTP) subsektor ini yang selalu dibawah 100 dan dalam lima bulan terakhir terus tergerus mengalami penurunan.
NTP dibawah 100 artinya petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang/jasa konsumsi dan biaya produksi
NTP merupakan indikator proxy kesejahteraan petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga. Angka NTP menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat dilakukan.
NTP subsektor tanaman pangan, yang didalamnya dibangun oleh petani padi dan palawija, pada bulan Januari 2022 sebesar 99,27. Kemudian turun 0,16 persen di Februari 2022 menjadi 99,12. Pada Maret 2022 turun 1,75 persen menjadi 97,38. Pada April 2022 turun kembali sebesar 1,99 persen menjadi 95,44. Dan pada Mei 2022 turun 0,20 persen menjadi 95,25.
Jika dibandingkan dengan subsektor lain, NTP Subsektor tanaman pangan adalah yang paling rendah. NTP Januari – Mei 2022 Provinsi Jambi lebih tinggi 14,12 persen dibandingkan NTP Tahun 2021 pada periode yang sama. Perubahan tertinggi terjadi pada Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 17,23 persen.
Sementara itu, Subsektor Tanaman Hortikultura mengalami penurunan terendah, yaitu sebesar 5,02 persen. NTP Januari – Mei tertinggi pada Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat yakni sebesar 151,00 dan terendah terjadi pada Subsektor Tanaman Pangan sebesar 97,28.
Lindungi Hak-Hak Petani
Nasib petani tanaman pangan di ini masih sangat menyedihkan. Harga hasil pertanian sering anjlok pada saat panen, sementara impor produk pertanian makin meningkat. Padahal, saat pandemi seperti ini, ketika sebagian besar sektor lumpuh, BPS mencatat sektor pertanian tumbuh 1,71 persen. Hal itu berarti ekonomi Indonesia juga ditopang petani yang miskin.
Namun, perlindungan dan penghormatan hak-hak petani belum mendapatkan perhatian yang serius di negeri ini. Padahal, petani merupakan stakeholder utama di bidang pertanian dalam rangka menopang ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Jumlah petani di Indonesia sebesar 33,4 juta dengan luas baku lahan sawah 7.463.948 hektare. Upah buruh tani, misalnya, masih sangat rendah jika dibandingkan dengan upah minimum regional dan nilai tukar petani pun kian menurun.
Berangkat dari keprihatinan dan perang benih, gerakan perlindungan hak-hak petani berkembang pesat sebagai respons perlindungan yang ketat varietas tanaman berbasis Konvensi UPOV 1991. Gerakan tersebut berhasil menetapkan hukum internasional yang bersifat mengikat dalam bentuk Treaty Internasional Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian. Treaty itu menjadi instrumen hukum utama terkait dengan perlindungan hak-hak petani.
Meskipun treaty tersebut tidak mendefinisikan hak-hak petani, pasal 9 (1) treaty itu menegaskan dan mengakui bahwa petani, masyarakat lokal dan adat di seluruh dunia, memiliki kontribusi yang signifikan bagi konservasi sumber daya genetik tanaman dunia. Pasal 9 (2) juga menegaskan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab mewujudkan hak-hak petani sesuai dengan prioritas negaranya.
Treaty itu memberikan mandat kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi dan memajukan hak-hak petani dan tidak boleh diinterpretasikan membatasi hak yang dimiliki petani untuk menggunakan, mempertukarkan, dan menjual benih di antara para petani.
Cakupan hak-hak petani ini meliputi: (1) hak adat untuk menyimpan, menggunakan, menukar, dan menjual benih serta bahan perbanyakan yang disimpan di lahan pertanian; (2) hak untuk diakui, dihargai, dan didukung atas kontribusi petani terhadap sumber daya genetik global serta untuk pengembangan varietas tanaman komersial; dan (3) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu yang terkait dengan sumber daya genetik tanaman.
Penting untuk dicatat bahwa selama beberapa generasi petani di Indonesia umumnya, dan mungkin terjadi juga di Jambi, telah melakukan tukar-menukar benih di antara komunitas petani yang lebih besar. Pertukaran benih ini merupakan bagian dari kearifan pertanian tradisional. Keterlibatan petani dalam kegiatan pertukaran benih bukan untuk tujuan komersial, melainkan karena persahabatan dan solidaritas untuk menjaga kerukunan atau harmoni sosial.
Akankah sikap mulia tersebut sirna? Sekarang ini sangat urgen memikirkan kembali nasib petani agar tidak terampas oleh kapitalisme global dengan memberikan perlindungan hukum yang adil dan layak. Bukankah dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani akan memampukan Indonesia menjadi negara yang berdaulat pangan dan Jambi yang mantab?
Penulis : Budi Hartono, S.ST, M.Si.
(Statistisi, BPS Provinsi Jambi)