JAMBI (SR28) – Untuk memahami sebuah persoalan, dibutuhkan pandangan yang luas agar apa yang diyakini bukan hanya sekedar pseudo truth. Hal ini guna memperkecil resiko mempermalukan diri sendiri saat mengeluarkan statement tak berdasar, keji, bahkan fitnah tak beralasan.
Dalam kebanyakan kasus yang terjadi, pemimpin dipilih berdasarkan fungsi dari kinerja otak yang lebih baik dibanding anggota lain. Itulah kenapa dalam sistem keorganisasian, hierarki seorang pemimpin berada di tingkat teratas.
Sama halnya dengan otak, pemimpin adalah struktur pusat pengaturan saraf-saraf organisasi yang meliputi seluruh bidang. Ia mengatur berbagai gerakan, perilaku dan fungsi keorganisasian.
Meski begitu, dalam proses perjalanannya, ada kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana seharusnya seorang pemimpin menggerakkan organisasi, tidak boleh hanya sekedar demi kepentingan pribadi atau kelompok semata. Sebab yang paling busuk adalah menjadikan organisasi sebagai alat.
Arah Gerak Seorang Pemimpin, Dilematis Kritik hingga Intrik
Banyak dari orang yang ketika memimpin terkesan impoten, bukan karena tidak tahu ke mana harus melangkah. Tapi terlalu takut untuk mendapat banyak kritik, tekanan, bahkan serangan langsung yang menghujam pribadi. Ya, sebagian orang yang punya hati busuk tak akan segan-segan untuk menjatuhkan pribadi, itu adalah sifat alamiah. Di samping ketidakmampuan mematahkan kebijakan lewat argumentasi dan narasi.
Tidak hanya sampai di situ saja, intrik politik juga akan dimainkan ketika hati belum merasa puas, mencari perhatian serta pembenaran ke sana sini, berharap simpati datang dan menghimpun dukungan-dukungan palsu.
Sebenarnya kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin, adalah bagian dari dinamika keorganisasian serta proses pendewasaan seluruh anggota. Kenapa begitu? Sebab semua yang terlibat di sana punya kewajiban untuk mengingatkan bahkan menentang jika dalam pandangan kita itu salah.
Menimbang dari sisi filsafat antara salah dan benar, rasanya setiap orang punya perspektif masing-masing atas apa yang diyakininya. Dalam konteks permasalahan kebijakan pemimpin misalnya, baik itu di sistem komunis dengan politik terpusat atau demokrasi yang menganut sistem kebebasan, pasti tetap akan ada penolakan dari lain pihak. Tampaknya perbedaan memang telah menjadi hukum alam yang akan terus ada.
Jika sudah begitu, yang mestinya dilakukan adalah bergerak dengan keyakinan yang teguh. Mungkin orang akan berpikir kita terlalu bersikap otoriter, tapi untuk apa kewenangan yang dimiliki jika tidak digunakan. Maju saja terus, konyol jika kita menunggu semua orang untuk sepakat baru bergerak. Tidak akan ada presiden yang memimpin Indonesia jika harus mendapat seratus persen suara terlebih dahulu.
Begitulah dinamika, dibanding menjadi pengecut yang tidak bergerak karena takut salah, lebih baik menjadi pembelajar yang terus bergerak mesti memiliki resiko salah.
Yang Luput Dari Kita
Manusia kebanyakan lupa, ada satu hal yang hanya bisa dilihat Allah dan dirasakan diri sendiri, yaitu niat. Kita tidak boleh serta merta menghakimi apa yang lain orang lakukan, karena pasti ada suatu hal yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan, entah itu baik atau buruk. Membenci itu mudah, memahami yang sulit.
Memimpin itu butuh kelapangan dada yang besar, juga kapasitas pemikiran yang mumpuni. Maka pada saat sebuah tawaran amanah itu disodorkan, pikirkanlah baik-baik sejauh mana batasan yang kita punya. Tapi sayang, manusia cenderung gelap mata dengan ekspektasi ketenaran, sanjungan dari orang-orang, serta kehormatan yang diidam-idamkan.
Maka bagi saya secara pribadi, nilai seorang kader itu tidak ditentukan oleh setinggi apa amanah/jabatan yang sekarang ia punya. Tapi nilai seorang kader ditentukan oleh sejauh mana impact dari kinerja yang diberikannya terhadap pembangunan organisasi. (Agus/Sidik)
Penulis: Zuandanu Pramana Putra (Sekjen KAMMI Daerah Kota Jambi)