JAMBI(SR28)– Kini polemik kenaikan harga BBM bukan lah isu semata.
Perhari Sabtu Tanggal 03 September 2022, BBM bersubsidi resmi naik. Kenaikan harga BBM ini tampaknya tak memberikan tanda-tanda sama sekali.
Setelah pada 1 September 2022 lalu, BBM dikabarkan akan naik. Kenyataannya berbeda, BBM justru turun.
Adapun tiga jenis BBM non subsidi yang mengalami penurunan harga per 1 September 2022 yaitu Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (CN 51), dan Pertamina Dex (CN 53). Ketiga jenis BBM non subsidi tersebut rata-rata turun sekitar Rp 2.000 per liter dari harga di periode Agustus 2022.
Penurunan harga BBM ini membuat masyarakat bernafas lega, karena kenaikan BBM itu tak direalisasikan. Akan tetapi, rasa lega masyarakat tertepis dengan realisasinya kenaikan harga BBM pada Sabtu 3 September 2022.
Kenaikan BBM ini digadang-gadang berkaitan dengan APBN yang dinilai mampu menyehatkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Jika subsidi BBM berkurang maka selisihnya bisa digunakan untuk hal lain, dan tidak membuat APBN membengkak.
Pemerintah sedang mengatur strategi agar kondisi finansial negara tetap stabil walau di masa pandemi, dengan penyesuaian harga BBM.
Harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan, menjadi 100 dollar per barrelnya, padahal beberapa bulan lalu hanya 60-56 dollar.
Kenaikan ini dikarenakan kondisi politik di Eropa Timur yang kurang stabil, dan jadi berpengaruh karena di sana ada kilang minyak yang penting bagi sumber bahan bakar beberapa negara, termasuk Indonesia.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir jika anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak ditambah pada tahun ini, maka akan menambah beban pada anggaran subsidi di 2023.
Ia menghitung, anggaran subsidi tahun ini harus ditambah Rp 195,6 triliun dari total subsidi tahun ini yang sebesar Rp 502 triliun, jika pemerintah tidak menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sehingga total anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini bisa tembus hingga Rp 698 triliun.
“Hitungan yang disampaikan ke Presiden, kalau tadi (anggaran subsidi) Rp 195,6 triliun tidak kita sediakan di tahun ini maka dia akan ditagih di APBN 2023. Jadi bukan berarti tidak ada,” tutur Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut Hasil Rakor Kemenko Perekonomian terkait Kebijakan Subsidi BBM, Jumat (26/8).
Menyelamatkan APBN ini dinilai melenyapkan masyarakat, ditengah perekonomian yang belum sepenuhnya membaik setelah pandemi. Masyarakat kembali disulitkan dengan kenaikan BBM bersubsidi.
Guru Besar Ilmu Ekonomi UNJA, Prof. Haryadi turut mengomentari polemik kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Menurutnya, posisi kenaikan BBM ini merupakan situasi dilematis. Antara menyelamatkan APBN atau rakyat.
“Kenaikan BBM Bersubsidi ini sebenarnya dilematis, dengan kondisi APBN yang sudah tidak memungkin kan. Untuk menanggung beban belanja subsidi BBM itu”, ujarnya.
Disisi lain, Prof Haryadi menilai beban berat juga ditanggung masyarakat atas kenaikan harga BBM bersubsidi.
Belum lagi masyarakat yang menggunakan BBM bersubsidi ini sebagai alternatif kegiatan lain. Hal ini ditakutkan mampu kembali menaikkan inflasi.
“Pertalite dan solar ini umumnya dikonsumsi oleh masyarakat menengah kebawah. Hal ini begitu terasa. Belum lagi jika BBM Bersubsidi ini digunakan untuk kebutuhan ekonomi. Sehingga biaya transportasi naik, kalau biaya transportasi naik maka harga barang-barang ikut naik. Saya khawatir jika inflasi juga ikut naik”, tambahnya.
Dilematis kenaikan BBM bersubsidi sangat dirasakan. Teruntuk kalangan menengah kebawah, kebijakan ini tentunya sangat menyulitkan.
Prof. Haryadi juga menambahkan bahwa Pemerintah jangan hanya berusaha menyelamatkan APBN tetapi melupakan rakyat.
Hal ini dinilai kurang efektif, menurutnya hal yang harus dilakukan adalah mencari solusi diluar dari pada menaikkan harga minyak.
“Pemerintah jangan hanya berusaha untuk menyelamatkan. Kalau naik harga minyak, maka naikkan harga minyak dunia. Seharusnya, dari pada menaikkan harga minyak, lebih baik mencari solusi diluarnya”, imbuhnya.
Polemik kenaikan harga BBM bersubsidi ini juga mencuri perhatian Dr. Irmanelly, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah.
Kenaikan harga BBM bersubsidi ini jelas ditolak olehnya.
Tentu saja bukan tanpa alasan, Dr. Irmanelly mengatakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan diikuti oleh barang pokok lainnya.
“Saya sebagai ibu rumah tangga, sangat tidak setuju. Karena, kenaikan harga BBM ini akan diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok”, ucap Irmanelly.
Gonjang-ganjing kenaikan harga BBM ini sangat berkaitan dengan APBN dan inflasi.
Pemerintah dinilai belum mampu menstabilkan harga bahan pokok, tetapi sudah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Dr. Irmanelly menilai perlunya penstabilan harga bahan pokok dari pada menaikkan harga BBM bersubsidi.
“Harga cabai saja hingga saat ini belum masih sangat tinggi, sementara diketahui bahwa harga cabai khususnya di Jambi menjadi penyebab naiknya inflasi. Sekarang sudah ada aja kenaikan harga BBM bersubsidi”, tambahnya.
Kisruhnya tak sampai situ saja, tepatnya 1 September 2022 kemarin, Pemerintah menurunkan harga BBM non subsidi.
Menurut Dr. Irmanelly hal ini juga bukanlah solusi tepat.
“Penurunan harga BBM bersubsidi ini dirasa belum tepat. Karena Pemerintah menurunkan harga BBM itu, harusnya sudah membuat kebijakan. Misalnya rencana kenaikan BBM agar mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dikurangi. Tetapi, Pemerintah belum menyediakan sarpras untuk kendaraan umum. Supaya masyarakat beralih ke kendaraan umum”, tambah Dr. Irmanelly.
Dr. Irmanelly turut mengkritisi Pemerintah mengenai kondisi saat ini.
Menurutnya, selogan Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat belum mencerminkan kondisional sekarang.
“Menurut saya, kita belum sesuai tema 17 agustus. Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat. Kita belum pulih apalagi kuat, BBM malah naik. Mohon dikaji lagi lah Pemerintah”, tutupnya.
Tampaknya kondisi saat ini benar-benar menjadi boomerang besar bagi Pemerintah.
Ditengah upaya menyelamatkan APBN, rakyat juga menjerit akibat melonjaknya biaya hidup.