JAMBI (SR28) – Pilkada merupakan bagian integral dari demokrasi dan mekanisme politik untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis. Indikatornya adalah masyarakat yang inklusif dengan partisipasi politik terbuka bagi semua pemilih. Pelaksanaan pilkada adalah momentum penting untuk meletakkan dasar kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi elektoral di tingkat lokal.
Esensi demokrasi di tingkat lokal dalam istilah Robert D. Putnam (2000) dalam bukunya “Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community” didasarkan pada prinsip yang local choice dan local voice. Ini adalah momentum di mana suara rakyat terartikulasikan secara langsung dan memilih sesuai kehendaknya agar kekuasaan lahir dari bawah melalui pemilihan langsung. Putnam berargumen bahwa penurunan keterlibatan sosial berhubungan dengan meningkatnya ketidakpercayaan publik dan penurunan kualitas pemerintahan lokal.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan bahwa visi-misi kandidat terpilih akan menjadi basis rujukan untuk penyusunan rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD, dan APBD).
Dalam konteks pemilihan kepala daerah kota Jambi, menguji visi dan misi kandidat bukan hanya langkah penting dalam pemilihan, tetapi juga kebutuhan dasar demokratis untuk memastikan legitimasi dan efektivitas pemerintahan kota Jambi di masa depan. Tanpa evaluasi mendalam, pemilihan wali kota berpotensi menjadi ritual formalitas dan hampa nilai. Visi dan misi calon bukan sekadar jargon politik; lebih dari itu, ia merupakan cermin rencana dan strategi yang akan mewarnai masa depan kota. Jika pemilih tidak kritis terhadap janji politik calon, masyarakat berisiko terjebak dalam retorika kosong yang senjang dengan berbagai persoalan dan kebutuhan pembangunan.
Dalam beberapa kasus, kandidat kepala daerah berupaya mengakumulasi dukungan suara dengan menawarkan visi misi yang disusun secara sepihak tanpa melibatkan warga. Akibatnya, kebijakan pembangunan kepala daerah terpilih acapkali kontra-produktif dengan kebutuhan riil warga. Jürgen Habermas (1981) dalam bukunya “The Theory of Communicative Action” dan “Between Facts and Norms” menekankan pentingnya diskusi publik yang rasional dan inklusif dalam perumusan dan pematangan kebijakan demokratis. Kebijakan yang sah dan legitim harus berasal dari proses deliberasi yang bebas dan terbuka.
Kota Jambi, sebagai salah satu kota besar di Sumatra, menghadapi berbagai tantangan dan peluang pembangunan. Isu seperti peningkatan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi publik, Revitalisasi budaya dan kualitas hidup masyarakat menjadi fokus utama pemerintah kota. Selain itu, keberagaman sosial dan budaya Jambi menuntut adanya kebijakan inklusif dan adil, memastikan setiap warga mendapatkan hak dan pelayanan yang setara.
Diskusi Publik: Menuju Demokrasi Substantif
Dalam dua bulan terakhir, menyongsong pemilihan kepala daerah tahun 2024 ini, berbagai organisasi masyarakat sipil mengambil peran dalam upaya membuka ruang perjumpaan dialogis antara masyarakat dengan para kandidat memalui diskusi publik. Sebut saja misalnya di Bandung, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Barat, bekerja sama dengan PW Muhammadiyah Jabar, bertajuk “Mencari Pemimpin Pilihan Rakyat”. Melaksanakan Serial Diskusi JMSI selalu menghadirkan kandidat kepala daerah (Cagub, Cabup, dan Cawalkot, di Maluku, komunitas Jarod juga melaksanakan juga diskusi publik yang menghadirkan kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara berlangsung di Warkop Jarod.
Sementara di Kota Jambi, dilaksanakan 2 kali diskusi publik, pertama diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Orda Jambi, sementara pada dua pekan berikutnya dilaksanakan oleh Lembaga Adat Melayu Kota Jambi yang mengundang 2 pasangan calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Jambi.
Kegiatan diskusi publik dalam upaya membedah dan menakar visi dan misi kandidat wali kota Jambi menjadi penting sebagai platform bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi, mengevaluasi komitmen kandidat, serta memastikan bahwa visi-misi dan program yang diusung oleh Calon Wali Kota Jambi relevan dengan kebutuhan dan aspirasi warga Kota Jambi. Karena pemimpin yang ideal tak mungkin bisa dilahirkan dari prosedur demokrasi formal semata mata, maka diskusi publik yang inklusif dan rasional merupakan bagian dari upaya mewujudkan demokrasi yang substantif.
Diskusi publik merupakan salah satu elemen penting dalam proses demokrasi modern. Melalui forum ini, masyarakat dapat mendengarkan dan mengevaluasi visi serta misi yang disampaikan langsung oleh kandidat. Namun, ketika seorang kandidat memilih untuk tidak hadir dalam diskusi publik, hal ini sering kali memicu perdebatan di tengah masyarakat. Ketidakhadiran tersebut bisa dipandang sebagai strategi politik atau bahkan sebuah kesalahan yang dapat menurunkan kredibilitas kandidat.
Persepsi Masyarakat terhadap Ketidakhadiran Kandidat
Bagi masyarakat Jambi, diskusi publik adalah momen krusial untuk menilai keseriusan kandidat dalam berkomitmen terhadap kepentingan umum. Ketidakhadiran kandidat meicu persepsi negatif. Masyarakat mungkin berpikir bahwa kandidat tersebut kurang peduli atau tidak siap untuk berinteraksi secara terbuka dengan pemilih.
Diskusi publik adalah saluran yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara pemilih dan kandidat. Dalam konteks Komunikasi Politik, kandidat yang tidak hadir melewatkan kesempatan untuk menyampaikan pesan secara langsung dan membangun hubungan emosional dengan masyarakat. Absennya komunikasi ini dapat menghambat pembentukan persepsi positif terhadap kandidat.
Tidak jarang ketidakhadiran kandidat dalam diskusi publik disebabkan oleh alasan teknis, seperti jadwal yang bentrok atau dengan alasan menunggu jadwal debat resmi yang dilaksanakan oeh KPU, padahal debat kandidat merupakan bagian dari mekanisme prosedural yang diinisiasi oleh KPU sebagai amanat undang-undang, sementara diskusi publik di berbagai daerah justru diinisiasi oleh masyarakat yang ingin memberikan masukan dan transparansi program dari kandidat.
Di sisi lain, beberapa kandidat mungkin menganggap ketidakhadiran sebagai strategi politik. Menurut Teori Agenda-Setting yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, forum publik dan media memainkan peran penting dalam menentukan topik apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Dalam beberapa kasus, kandidat yang menghadapi isu sensitif akan memilih untuk tidak hadir guna menghindari pertanyaan sulit yang dianggap membahayakan citra mereka. Dengan demikian, mereka berusaha meminimalkan risiko politik, meskipun tindakan ini dapat memberikan dampak negatif pada persepsi masyarakat.
Strategi ini memiliki risiko besar. Jika lawan politik memanfaatkan ketidakhadiran tersebut dengan menguasai narasi diskusi, kandidat yang absen berpotensi digambarkan sebagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat memengaruhi agenda diskusi dan mengarahkan perhatian publik pada kelemahan kandidat yang tidak hadir.
Dampak Terhadap Elektabilitas dan Kepercayaan Publik
Keputusan untuk tidak hadir dalam diskusi publik bisa berdampak signifikan terhadap elektabilitas seorang kandidat. Teori Persepsi Publik menjelaskan bahwa persepsi masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk bagaimana kandidat tersebut dibingkai oleh media atau lawan politik. George Gerbner (1969) melalui Cultivation Theory menyebutkan bahwa paparan yang berulang-ulang terhadap suatu narasi dapat membentuk persepsi publik jangka panjang.
Jika ketidakhadiran kandidat terus dibingkai sebagai tanda kelemahan atau ketidakpedulian, persepsi ini dapat bertahan meskipun kandidat berupaya memperbaiki citranya. Dalam politik, citra sangat penting untuk membangun kepercayaan pemilih. Ketika kepercayaan tersebut mulai terkikis, pemilih akan mengalihkan dukungan mereka ke kandidat lain yang dianggap lebih siap dan terbuka dalam berkomunikasi.
Dalam era di mana transparansi dan keterbukaan dianggap sebagai nilai utama, kandidat yang menghindari diskusi publik akan kehilangan dukungan pemilih yang menginginkan pemimpin yang tanggap, mau mendengar suara pemilih dan berani menghadapi pertanyaan publik. Oleh karena itu, penting bagi kandidat untuk mempertimbangkan secara matang sebelum memutuskan untuk absen dalam forum-forum yang melibatkan dan atau diinisiasi oleh masyarakat secara langsung.
Sebagai kesimpulan, Ketidakhadiran kandidat dalam diskusi publik dapat berdampak besar terhadap dinamika politik dan persepsi masyarakat. Di satu sisi, hal ini dapat dianggap sebagai strategi untuk menghindari risiko, tetapi di sisi lain, ketidakhadiran tersebut juga dapat mengundang kritik tajam dan merusak kredibilitas kandidat.
Dalam politik, keterlibatan aktif dalam diskusi dengan masyarakat adalah kunci untuk membangun kepercayaan. Kandidat yang mau mendengar dan mampu berkomunikasi secara terbuka dan menghadapi isu-isu kritis dari masyarakat secara bertanggung jawab akan lebih mudah mendapatkan dukungan pemilih dari pada kandidat yang hanya bersembunyi di balik baliho dan gambar yang tak mungkin bisa diajak bicara. Wallahua’lam
Penulis: Hafizen, M.Sc
Pernah sebagai Capacity Building Senior Officer the Wahid Foundation Jakarta dan Direktur Lembaga Konsultan Digital Branding Yogyakarta. Saat ini Aktif sebagi Dosen UIN STS Jambi dan Pengurus Inti ICMI Orda Kota Jambi