Oleh: Effi Marleni S.H,M.H
Keputusan pemerintah terkait penyelenggaraan Pilkada ini secara potensial memunculkan masyarakat Golput (Golongan Putih) karena alasan kesehatan dan keselamatan warga. Seruan Golput pertama dilontarkan oleh Azyumardi Azra, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, salah satu tokoh intelektual Muslim ini menyatakan diri secara terbuka untuk tidak akan berpartisipasi dalam Pilkada 2020 atau memilih menjadi golput (golongan putih). Golput ini pernah terjadi di beberapa negara yang tetap memutuskan untuk menyelenggarakan Pemilu di tengah kondisi pandemi yang belum mereda. Merujuk Pemilu di Queensland-Australia yang diselenggarakan Maret lalu.
Banyak warga yang memutuskan untuk tidak memilih demi terhindar dari penularan Covid-19. Mereka rela membayar denda yang ditetapkan oleh pemerintah karena menjadi Golput. Hal yang sama juga terjadi di Perancis yang dalam pemilihan lokal hanya 44,7 persen warga yang berpartisipasi. Demikian juga dengan pemilu di Iran yang hanya diikuti oleh sekitar 40 persen. Ini merupakan kondisi terburuk sejak Revolusi Iran di tahun 1979. Dalam situasi pandemi menjadi Golput adalah pilihan yang paling rasional mengingat kesehatan dan keselamatan publik tengah terancam. Situasi ini diperparah dengan maraknya spekulasi tentang kolusi dan menguatnya politik dinasti di kalangan pemerintah serta maraknya politik uang karena perekonomian Indonesia yang semakin terpuruk. Jangan sampai pesta demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elite politik tertentu yang mencari kekuasaan dan keuntungan namun harus berakhir dengan mengorbankan nyawa rakyat.