JAMBI (SR28) — Sejumlah jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, pada Senin (27/5). Massa aksi menyerukan penolakan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dikeluarkan pada Maret 2024.
Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi terdiri dari unsur Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, Rambu House, komunitas pers mahasiswa, aktivis, seniman, dan masyarakat umum. Mereka bergantian melakukan orasi di halaman gedung DPRD.
Selain berorasi, mereka juga menegakkan sejumlah spanduk berisi tuntutan, protes, kritikan, dan pernyataan dampak buruk RUU Penyiaran. Spanduk tersebut antara lain berbunyi “Jangan Larang Liputan Investigasi Eksklusif”, “Tindakan Aparat Brutal Pembungkaman UU Pers”, hingga “Kembali ke UU No. 40/1999”.
Koalisi ini menilai RUU Penyiaran merupakan ancaman bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi akan terkikis jika RUU Penyiaran ini disahkan menjadi undang-undang.
Menurut mereka, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui RUU Penyiaran berupaya menerapkan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negara, yang mengkhianati semangat demokrasi yang tercermin dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini dibuat untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak publik atas informasi.
Pada Pasal 50B Ayat 2 RUU Penyiaran, terdapat larangan penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Larangan ini dianggap menunjukkan ketakutan terhadap terbongkarnya permasalahan yang penting untuk diketahui publik, serta merupakan bentuk keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif untuk mengatasi persoalan negara, kanal informasi ini malah dilarang.
“Simbol kemunduran kemerdekaan pers karena berusaha membungkam pers melalui RUU Penyiaran. Padahal, karya jurnalistik investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis,” kata Ketua IJTI Pengda Jambi, Adrianus Susandra.
Adrianus juga menyebutkan masih ada beberapa pasal kontroversial yang mengancam kebebasan pers dan menghalangi tugas jurnalistik. “Kami memandang pasal yang multi-tafsir dan membingungkan ini menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pers dan mengancam kemerdekaan pers,” katanya.
Ketua PFI Jambi, Irma, menyoroti Pasal 50B Ayat 2 Huruf K yang berbunyi “larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik,” berpotensi membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers. Pasal ini juga terkesan rancu sehingga dapat menimbulkan multitafsir. “Karena itu, kami mendesak agar pasal-pasal ‘nakal’ ini segera dihapuskan. Draf revisi ini juga menetapkan kewajiban sensor untuk seluruh isi siaran. Ini bertentangan dengan UU Pers karena seharusnya siaran jurnalistik tidak dikenai sensor,” ujar Irma.
Sejumlah pasal dalam draf itu juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Pasal 8 Ayat 1 menyebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pers.
“Kami khawatir, Komisi I DPR merancang draf ini demi mengutamakan kepentingan pemodal, dengan mengabaikan kepentingan publik. Karena itu, kita harus menolaknya sebelum penyusunan draf dinyatakan tuntas,” kata Irma.
Ketua AJI Jambi, Suwandi alias Wendi, memperingatkan bahwa KPI bisa menjadi lembaga powerful yang dapat membatasi kebebasan berekspresi, membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi, dan melakukan kriminalisasi. Apalagi, perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi partai politik dan kelompok ‘jahat’ yang mengabaikan hak publik. “Sengketa pers yang akan ditangani KPI bertentangan dengan UU Pers dan dapat digunakan penguasa otoritarianisme untuk membungkam kritik. Artinya, semakin banyak jurnalis yang akan dipenjara karena berita,” katanya.
Suwandi menegaskan bahwa RUU Penyiaran seharusnya dirancang dengan partisipasi publik. Namun, Komisi I DPR malah merancang RUU Penyiaran tanpa mempertimbangkan asas kepentingan publik atau masyarakat umum. “RUU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak jika prosesnya dilakukan dengan benar, yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu, jika ingin mengatur karya jurnalistik, harus melibatkan organisasi jurnalis dan Dewan Pers serta aktivis-aktivis yang concern pada isu HAM, kebebasan berekspresi, perempuan, anak, dan kelompok minoritas,” katanya.
Tidak hanya para jurnalis, masyarakat umum juga resah dengan draf RUU Penyiaran. Mereka khawatir banyak informasi penting yang tidak bisa dijangkau publik akibat larangan jurnalisme investigasi. Padahal, berbagai kasus dan kejahatan terbongkar di tengah masyarakat karena jurnalisme investigasi dan kebebasan pers.
Ismet Raja mengatakan masyarakat non-jurnalis juga harus menyuarakan penolakan RUU Penyiaran. Ia khawatir jika RUU Penyiaran itu rampung dan disahkan, akan menjadi instrumen negara untuk melakukan kriminalisasi. “Gaung penolakan atas Rancangan Undang-Undang Penyiaran semakin meluas. Sebab itu, kita harus sangat merespons kejanggalan undang-undang yang diatur negara yang akan mengkriminalisasi hak-hak siar sebagai kita umat manusia. Aladabu powko ilmi (adab itu lebih tinggi daripada ilmu),” kata aktivis sekaligus musisi dari Rambu House.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi menyerukan dan menuntut:
- Penolakan dengan tegas terhadap draf RUU Penyiaran versi Maret 2024.
- Menyerukan pemerintah pusat dan DPR berhenti membungkam pers atau mengikis hak masyarakat mendapatkan informasi.
- Mendesak DPR mengkaji dan merancang ulang RUU Penyiaran dengan mementingkan asas kebebasan pers dan kepentingan masyarakat, serta tidak mengkhianati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
- Mendesak DPR menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
- DPR harus melibatkan masyarakat, organisasi jurnalis, dan Dewan Pers dalam perancangan RUU Penyiaran.