JAMBI (SR28) -Perekonomian Indonesia jelas tegas masih dalam kungkungan pandemi Covid-19. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pekan lalu, membuktikan itu.
Hampir sepanjang 2020, pertumbuhan ekonomi terus berada di zona negatif. Setelah mencatat pertumbuhan positif, 2,97 persen, pada kuartal I 2020, pertumbuhan kuartal-kuartal berikutnya terus berada di zona negatif. Pada kuartal IV 2020, pertumbuhan tercatat masih terkontraksi 2,19 persen.
Dibanding kuartal II 2020 (-5,32 persen) dan kuartal III 2020 (3,49 persen), angka capaian pertumbuhan kuartal akhir 2020 tersebut memang memperlihatkan arah membaik. Namun, secara tahunan, sepanjang 2020, pertumbuhan ekonomi masih berada di zona negatif di posisi -2,07 persen. BPS menyebut posisi pertumbuhan ini tercatat sebagai pertumbuhan minus pertama kali sejak 1998. Demikian di Jambi, secara global ekonomi Provinsi Jambi pada tahun 2020 terkontraksi 0,46 persen.
Pandemi dipastikan menjadi sebab utama kinerja perekonomian Indonesia. Apalagi, sampai saat ini, pandemi belum benar-benar bisa dikendalikan. Pembatasan kegiatan dan aktivitas masyarakat masih diberlakukan secara meluas, sehingga membatasi pula aktivitas perekonomian nasional.
Sektor konsumsi, salah satu motor penting perekonomian Indonesia nyaris tak bergerak, baik di sisi permintaan maupun penawaran. Perekonomian sepertinya hanya mengandalkan belanja pemerintah.
BPS mencatat hanya konsumsi pemerintah yang mengalami pertumbuhan positif selama tahun lalu. Begitupun, dibanding pertumbuhan 2019, konsumsi pemerintah itu mengalami penurunan. Tak heran kalau muncul pandangan belanja dan konsumi pemerintah, dengan segala keterbatasannya, sulit dijadikan andalan terus menerus. Kalaupun masih menjadi andalan, maka itu hanya stimulus yang diharapkan bisa mempertahankan putaran roda ekonomi.
Pertanyaan sesungguhnya, sudahkah tampak pemulihan ekonomi? Setidaknya, pertumbuhan kembali ke zona positif pada tahun ini. Di sisi lain, pandemi, faktor utama rontoknya perekonomian, belum benar-benar terkendali.
Pemerintah memang sudah mengimplementasikan, dan terus mengampanyekan, vaksinasi. Reuters bahkan menyebutnya sebagai salah satu kampanye vaksin terbesar dunia. Tapi, pertumbuhan kasus atau positive rate Covid-19, belum memperlihatkan tanda-tanda pembalikan arah. Bahkan, disebut-sebut, ‘herd immunity‘ sebagai tujuan vaksinasi diperkirakan tercapai dalam kurun sekitar 15 bulan.
Selama kurun tersebut, sampai ‘herd immunity‘ benar-benar tercapai, pembatasan kegiatan tetap gencar dilakukan. Ini berarti aktivitas dan kegiatan ekonomi tetap terbatas, plus dibayangi ketidakpastian. Tak pelak, pesimisme terus menghantui aktivitas sosial dan masa depan perekonomian nasional.
Menguatkan Optimisme
Bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana dengan Jambi? Pesimistiskah? Faktanya boleh jadi mengindikasikan itu. Pertumbuhan ekonomi masih di zona negatif, positivity rate infeksi virus tetap tinggi meski vaksinasi mulai digencarkan, pembatasan akitivitas sosial dan ekonomi masih pula diberlakukan secara luas.
Hanya saja, situasi dan kondisi itu barangkali juga tidak lantas berarti sama sekali tak ada optimisme. Sejumlah geliat optimisme juga bermunculan terkait pemulihan ekonomi nasional, baik secara ekonomi, kesehatan maupun sosial.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengajak semua kalangan mengawali 2021 dengan optimisme melawan pandemi sekaligus memulihkan perekonomian. “Program vaksinasi dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan menjadi kunci penting pemulihan perekonomian,” ujarnya.
Di sisi ekonomi, Bank Indonesia (BI), dalam siaran persnya, menyebutkan meski terkontraksi sejak kuartal II (-5,32 persen) sampai kuartal IV (-2,07) 2020, pertumbuhan ekonomi bergerak ke arah membaik. Pertumbuhan ekonomi domestik yang membaik itu bisa diharapkan menjadi fondasi pertumbuhan selanjutnya.
BI memprakirakan pertumbuhan meningkat secara bertahap pada 2021. BI pun menegaskan terus mengarahkan bauran kebijakan akomodatif serta memperkuat sinergi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk terus mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Serpihan-serpihan optimisme itu memang tidak seharusnya membuat pemangku kebijakan dan dunia usaha nasional lengah. Ancaman pandemi belum mereda. Pesimistis pun agaknya bukan pilihan. Tapi, menghimpun seluruh serpihan optimisme yang masih tersisa bisa menjadi kekuatan penting memperbaiki sistem kesehatan publik dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Optimisme pemangku kebijakan jelas dibutuhkan terutama prioritas pengendalian pandemi, diikuti stimulus perekonomian, fiskal maupun moneter. Optimisme publik juga dibutuhkan sesederhana menyadari pentingnya kepatuhan memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan mencegah (menghindari) kerumunan.
Penulis : Budi Hartono, S.ST, M.Si. Statistisi BPS Provinsi Jambi