JAMBI (SR28) – Pembangunan keluarga merupakan sesuatu yang mendesak dan tak boleh terpinggirkan sebab keluarga merupakan fondasi awal dalam membangun karakter bangsa. Kegagalan dalam pembangunan keluarga akan menjadi ancaman terhadap pembangunan manusia secara keseluruhan.
Pendidikan keluarga adalah sebagai lembaga pendidikan pertama bagi anak, memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam mewujudkan karir anak. Keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki fungsi yang cukup penting dalam mempersiapkan nilai-nilai positif bagi tumbuh kembang anak sebagai fondasi pendidikan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia mempunyai potensi yang positif untuk berkembang namun realisasi dari potensi itu sangat ditentukan oleh peran pendidikan keluarga khususnya dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0.
Peran keluarga adalah aktor penting dalam membentuk generasi yang berkualitas di era modern, yang mendapatkan tempat sosialisasi seperti nilai, budaya, ideologi, dan agama. Peran keluarga juga memiliki tanggung jawab terhadap anggotanya karena keluarga juga disebut sebagai lembaga sosial yang artinya adalah media dalam mengantarkan anak diterima oleh masyarakat. Dengan masuknya kehidupan manusia di era industri 4.0, keluarga kini mulai kehilangan dimensi fisiknya karena telah diambil alih oleh dimensi virtual. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari, dimana sebagian masyarakat kini berkomunikasi dengan keluarga sudah tidak dengan tatap muka akan tetapi sudah menggunakan gadget meskipun dalam satu rumah.
Pemerintah, mitra kerja, swasta, masyarakat, dan keluarga perlu meningkatkan tentang pentingnya penerapan 8 (delapan) fungsi keluarga secara optimal dalam rangka pembentukan karakter sejak dini, untuk mewujudkan pelembagaan keluarga kecil bahagia.
Delapan fungsi keluarga tersebut adalah fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi kelestarian lingkungan. Sementara 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga adalah keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya, dan keluarga peduli dan berbagi.
Dengan berjalannya kembali delapan fungsi keluarga dalam kehidupan keluarga Indonesia yang mencapai 65 juta lebih keluarga, serta terlaksananya 4 (empat) pendekatan ketahanan keluarga tersebut, diharapkan akan tercipta keluarga Indonesia yang kokoh dalam menghadapi era revolusi 4.0 sehingga terwujud keluarga kecil bahagia dan sejahtera serta berkualitas menuju Indonesia berkemajuan.
Generasi Milenial
Pembangunan keluarga tak bisa melupakan generasi muda. Berdasarkan data hasil SP2020, yang menarik adalah melihat hasil komposisi penduduk berdasarkan umurnya. Di Jambi, ternyata masih dikuasai oleh Generasi Milenial (lahir tahun 1981-1996) dan Gen Z (lahir tahun 1997-2012). Sebanyak 26,80 persen penduduk Jambi adalah Generasi Milenial, dan 29,18 persen masuk dalam kelompok Gen Z. Jumlah Penduduk yang masuk dalam kelompok Gen X (lahir tahun 1965-1980) sebesar 21,43 persen, kelompok Post Gen Z (lahir tahun 2013 sd sekarang) sebesar 11,60 persen, kelompok Baby Boomer (lahir tahun 1946-1964) sebanyak 9,72 persen, dan selebihnya 1,27 persen masuk dalam kelompok Pre-Boomer (lahir sebelum 1964).
Namun demikian pembangunan keluarga terutama pada generasi muda ini masih terbatas. Remaja dan anak muda yang seharusnya bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan nyaman serta mampu mempersiapkan diri menyongsong masa depannya justru tak sedikit yang mengalami persoalan dan menghambat bangsa Indonesia dalam upaya memanfaatkan bonus demografi secara optimal.
Masih terbatasnya pengetahuan remaja dan anak muda di Indonesia mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas mengakibatkan masih terjadinya pernikahan anak di Indonesia. Angka pernikahan anak di bawah umur di Provinsi Jambi masih tinggi. Data pada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Provinsi Jambi menunjukkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 947 perkawinan anak dibawah umur yang tercatat di Provinsi Jambi.Dampak dari terjadinya pernikahan anak ini selain berisiko pada kesehatan reproduksi perempuan karena alat-alat reproduksinya belum matang dan siap digunakan, juga berisiko meningkatkan angka kematian ibu dan juga angka kematian anak.
Perceraian ini terjadi tentu lebih disebabkan oleh ketidaksiapan anak atau remaja dalam membangun bahtera rumah tangga, kurangnya komunikasi antara suami dan isteri karena usia menikah masih terlalu muda (dini) serta rendahnya kemampuan untuk saling percaya dan menjaga komitmen hidup berkeluarga. Perceraian juga bisa diakibatkan oleh lemahnya pola asuh keluarga sebagai akibat dari melemahnya fungsi-fungsi keluarga asal sebelum melakukan pernikahan.
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menyebutkan bahwa sebanyak 11 persen wanita dan 7 persen Pria yang pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Jika dirinya/pasangannya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sebanyak 52 persen pria dan 15 persen wanita belum kawin usia 15-24 tahun memilih untuk menggugurkan kandungan, meskipun 29 persen pria dan 39 persen wanita diumur yang sama masih memilih untuk melanjutkan kehamilannya.
Kehamilan yang tidak diinginkan ini berisiko terjadinya komplikasi kehamilan yang bisa membayakan nyawa ibu dan anaknya. Kehamilan yang tidak diinginkan juga berpotensi untuk terjadinya upaya pengguguran kandungan melalui aborsi tak aman yang juga membahayakan nyawaibu.
Penyadaran Kembali
Berbagai persoalan seperti pernikahan dini atau pernikahan anak, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tak aman pada remaja, kelahiran di usia remaja, kriminalitas remaja, seks bebas remaja, aborsi, dan perceraian seperti kasus-kasus tersebut mampu dicegah atau dikurangi jika kita fokus pada pembangunan keluarga.
Pembangunan karakter bangsa bisa dimulai dari pembangunan keluarga dengan memperkuat dan menghidupkan kembali fungsi-fungsi keluarga yang selama ini terkesan mengalami penurunan karena berbagai faktor. Selain karena faktor negatif dari globalisasi juga disebabkan oleh semakin melemahnya peran negara dalam memberikan dukungan terhadap pembangunan keluarga.
Pembangunan keluarga tidak boleh dianaktirikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah jangan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pembangunan keluarga harus seimbang dengan pembangunan sektor-sektor tersebut. Karena keluarga adalah pondasi awal pembangunan sebuah bangsa. Keluarga kuat, maka negara juga kuat. Dalam momentum hari keluarga ini juga bisa kita gunakan untuk mengembalikan delapan fungsi keluarga berjalan dan hidup di dalam keluarga-keluarga Indonesia. Keluarga kuat, bangsa hebat!
Penulis : Risma Hapsari, S.ST, M.Si.
Statistisi Muda, BPS Provinsi Jambi.