Pemilu-KADA serentak tahun 2020 ini, yang direncanakan pemilihan pada tanggal 9 Desember 2020, diduga pelaksanaannya masih berlangsungnya Covid 19, menjadi sangat menarik, karena munculnya Dinasti Politik secara terstruktur, systimatis massive (TSM), fenomena ini yang mengarah kotak kosong, atau pasangan tunggal, umumnya berasal dari Dinasti Politik, dan bukan hanya menjadi isu lokal di daerah, melainkan telah menjadi isu nasional.
Pilkada menjadi menarik dan unik, karena para kontestannya, terdiri dari dan merupakan anak dan menantu presiden, anak wakil presiden, anak dan adik para menteri, Bupati atau walikota dan dari keluarga pejabat lainnya.
Memang disadari bahwa Dinasti Politik ini semakin hangat Ketika proses rekruitmen oleh DPP Parpol yang ada di pusat, Dinasti Politik ini bukan muncul sekonyong-konyong, melainkan telah dipersiapkan berbulan bulan yang lalu, bahkan beberapa tahun yang lalu, tentunya Ketika orang tua atau saudaranya dan keluarganya sedang berkuasa. Persiapan-persiapan tersebut tentunya bukan hanya sekedar financial, termasuk Infrastruktur Politik, pemanfatan segala potensi dan infrastruktur yang ada di wilayah, baik SDM, Proyek, SDA, sponsor dll.
Dengan persiapan-persiapan tersebut, sehingga dalam proses rekruitmen di DPP yang diawali dengan proses di tingkat tapak, fakta sampai hari ini, ada indikasi mengarah pemborongan partai pengusung oleh Baca-KADA dari Dinasti Politik atau partai yang minta diborong oleh Baca-KADA dari Dinasti Politik, sehingga mempersulit Baca-KADA yang non Dinasti Politik untuk mendapatkan partai pengusung baik sendiri maupun koalisi.
Indikasi borong partai memang sangat kental, karena Baca-KADA dari dinasti Politik telah melakukan pendekatan melalui Infrastruktur Politik dari daerah sampai ke pusat, dalam hal ini Dewan Pimpinan Pusat (DPP), dan bahkan beberapa Partai Politik yang masih memberikan signal akan memberikan rekomendasi ke Baca-KADA Dinasti Politik.
Kondisi ini tentunya tidak saja tidak merusak demokrasi, melainkan akan menghancurkan demokarsi itu sendiri, karena menghambat para Baca-KADA lainnya untuk ikut berkompetisi, karena kecenderungan Rekruitmen bukan berbasiskan Integritas, visoner, track record dll, namun berindikasi lebih menonjolkan “ISI TAS”. Kondisi ini sudah memunculkan dagang sapi dan demokrasi yang bersifat liberal murni, yang memberi kesan bahwa Dinasti Politik dan Kotak Kosong merupakan pemilu-KADA adalah sistem kerjaaan berbungkus Demokrasi.
Dinasti Politik muncul, sebagai bagian dari keinginan dan keserakahan para pejabat, yang memaksakan diri dan ingin keluarganya berkuasa. Keangkuhan para elite, dalam menempatkan sanak familynya, menjadi penerus kekuasaannya. Akhirnya, orang lain tak boleh berkuasa. Orang lain tak boleh menjabat apa-apa. Seolah-olah hanya keluarga pejabat tersebut, yang berhak untuk berkuasa dan memiliki jabatan. Seolah-olah rakyat yang berprestasi, tak boleh menjadi kepala daerah.
Dinasti Politik yang muncul akhir-akhir ini, lebih diwarnai oleh politik aji mumpung. Mumpung ayahnya presiden, mumpung ayahnya wakil presiden, mumpung kakaknya menteri, mumpung ayah atau ibunya anggota DPR, dan mumpung keluarganya sedang jadi pejabat, mumpung Bapaknya Bupati atau Wali Kota,maka mereka memperluas kekuasaannya, dengan cara mendorong keluarganya jadi kepala daerah.
Akibat dari dinasti politik yang menginkan kekuasaan dengan mudah, berusaha untuk memborong partai sebagai sebuah scenario yang dimainkan dan akan menciptakan pasangan tunggal atau kotak kosong, sehingga fenomena Pemilu-KADA kotak kosong muncul dan bahkan kian Terstruktur, Systimatis dan Masive (TSM) pada 2020.
Tentunya kondisi Pemilu-KADA Tahun 2018 termasuk tahun 2020 dan Pemilu sebelumnya ini hendaknya menjadi catatan bagi Pengamat dan Pembuat UU atau DPR serta penyelengara Pemilu-KADA, bahwa penyebab munculnya kotak Kosong dalam Pemilu-KADA, perlunya penyempurnaan regulasi, baik bagi parpol dan gabungan parpol, maupun bagi kandidat perseorangan.
Sesungguhnya Fenomena Dinasti Politik dan Kotak Kosong, sebagaimana terjadi di Makasar tahun 2018, kotak kosong menjadi pemenang dan Pemilu-Kada akan berlangsung atau dilanjutkan Pemilu-KADA selanjutnya. Sebaiknya fenomena tersebut perlu dipikirkan kembali sehingga sistem pemilu di Indonesia ke depan lebih baik lagi. Karena kemenangan kotak kosong ini tidak memberikan manfaat bagi negara sebab dengan menangnya kotak kosong, pemilihan ulang terpaksa dilakukan dan berdampak pada keuangan negara. Begitu juga kemenangan oleh Pasangan Tunggal yang memberi arti bahwa demokrasi tidak demokrasi.
Dinasti Politik dengan pola dan startegi untuk mendapatkan kekuasaan yang mudah, dengan kekuatan financial yang besar, cenderung ingin menang by atau pasangan tunggal atau kotak kosong, yang berarti Demokrasi sudah rusak dan hampir mati, disamping dapat merugikan negara, karena membebani keuangan kepada negara. Ke depan perlu dipikirkan bagaimana masalah kotak kosong ini. Ini juga merupakan pemikiran bersama sehingga memberikan kefaedahan bagi negara dan bangsa ini. Kita harus memikirkan sistem apa yang harus tepat dilaksanakan barangkali dengan hal-hal lain, tetapi tetap memenuhi asas demokrasi.
Terkesan Dinasti Politik dan kotak kosong karena Parpol terutama kadernya tidak atau kurang bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya sehingga para elite parpol akhirnya hanya ”memperjualbelikan” yang memiliki otoritas untuk pemberi rekomendasi bagi setiap Baca-KADA yang hendak berkompetisi dalam pilkada. Ini tentu sebuah ironi di tengah begitu tingginya ekspektasi publik atas peningkatan kualitas demokrasi kita.
Saat ini ada kecenderungan masyarakat pemilih pada wilayah yang kecenderungan adanya dinasti politik yang cenderung memborong Partai Politik dan menciptakan kotak kosong, mulai ditolak oleh masyarakat, dan adanya gerakan social anti dinasti politik. Walaupun sesungguhnya Dinati Politik bukan sebuah perbuatan melanggar hukum konstitusi, namun dari beberapa catatan cenderung merusak demokarsi dan membungkus Demokarsi dengan kerajaan
Dengan memperhatikan factor-faktor tersebut, Dinasti Politik tidak dapat dihentikan, dan merupakan kegiatan legal dan syah, namun Gerakan moral yang bergerak bukan berdasarkan hukum positif, untuk menghentikan dan mencegah harus menjadi Gerakan nasional, dan tidak mungkin adanya kebijakan Undang-undang, maka yang harus dilakukan dari luar kebijakan. Antara lain beberapa cara untuk mengatasinya (1) dengan meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih calon sesuai kompetensinya dan bukan hanya karena populer (modal awal para calon dinasti politik); (2) menghilangkan politik uang dalam pemilihan, agar lebih banyak orang bisa berpartisipasi dalam ajang pilkada/pemilu; (3) Edukasi sosialisasi politik kesemua pemilih baik pemula atau pemilih secara continyu dan konsisten terkait dengan muncul subur Dinasti Politik secara TSM; (4) Pelibatan masyarakat untuk melakukan pengawasan yang peduli dengan Pemilu Langsung, umum bebas dan rahasia, dan pola one man, one vote (OMOV) bekerja sama dengan Lembaga penyelengara dan pengawas, serta Lembaga penegak hukum lainnya, termasuk KPK dan GNPK.
Karena kita semua harus memahami bahwa pemilu sebagai proses demokrasi itu adalah persaingan dalam pemilihan seperti persaingan dalam pemilihan Kepala Daerah, bukan persaingan dengan kotak kosong, sehingga pasangan tunggal itu identic dengan merusak demokrasi dan tidak memenuhi azas pemilu-KADA sebagai sebuah kompetisi. Kompetisi yang sesungguhnya adalah persaingan dalam pemilihan dan pencoblosan di Bilik suara secara Jujur dan Adil, langsun umum bebas dan rahasia (Jurdil, luber) beserta One man, one vote (OMOT).
Memang disadari Dinati Politik bukan kegiatan yang dilarang, maka perlunya Gerakan social yang besifat edukasi politik kepada semua pemilih serta pemantauan dan upaya pencegah serta upaya penegakan hukum secara khusus melalui BANWASLU dan Instansi Hukum terkait, terutama pada Indikasi wilayah yang memiliki indikasi dan munculnya Politik Dinasti, merupakan keharusan, termasuk KPK, GNPK dan masyarakat yang peduli dengan demokrasi dan Pemilu-KADA bersih, melalui pembentukan POSKO Bersama di masing-masing Kecamatan dalam wilayah tersebut sedari dini.
Masyarakat pemilih sangat mengharapkan himbaun kami terkait dengan edukasi politik dan upaya pencegahan dan Tindakan hukum, mohon dapat ditindak lanjuti sedini mungkin, harapan kami dimulai dari pra persiapan, persiapan dan Pelaksanaan sampai pasca pelaksanaan, terutama pada tahapan (1) Proses receuitmen oleh Partai di tingkat tapak, sampai di tingkat Pusat (DPP), (2) Saat sosialisasi pra tahapan; (3) saat kampanye, (4) Saat menjelang pemilihan/Pencoblosan, dan pasca Pencobosan dalam artian perhitungan suara saat di TPS, PPK sampai tingat Kabupatan/kota, merupakan wilayah rawan invisible hand.