Tahun 2020, para pelaku peternakan unggas termasuk diantaranya peternak ayam mandiri, menutup akhir tahun dengan senyum getir. Hal ini karena tanda-tanda bahwa peternakan unggas mulai nampak cerah. Salah satu indikatornya adalah harga daging ayam hidup di peternak mulai membaik dalam beberapa bulan terakhir.
Akan tetapi, perbaikan harga itu tetap belum mampu menutup kerugian peternak akibat ongkos beternak yang terus naik, baik karena kenaikan harga pakan, obat-obatan, maupun harga ayam usia sehari (DOC), dan ongkos tenaga kerja.
Indeks harga yang diterima petani menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi pertanian. Di Jambi, indeks harga yang diterima peternak unggas selama tahun 2020 rata-rata hanya sebesar 96,67 dan bulan Desember 2020 dengan indeks sebesar 97,92. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan indeks harga yang diterima peternak besar (rata-rata 111,72), peternak kecil (rata-rata 105,08), dan petani hasil ternak (rata-rata 106,39).
Lalu, bagaimanakah prospek peternakan unggas tahun 2021? Akankah sektor ini masih menjadi bisa andalan bagi peternak unggas untuk mencukupi berbagai kebutuhan modal dan kebutuhan sehari-hari mereka?
Kondisi fundamental ekonomi sangat mempengaruhi bagaimana wajah prospek peternakan unggas 2021. Pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) sangat optimis bahwa perekonomian Indonesia akan pulih pada kuartal II 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini ekonomi tumbuh 5 persen, sementara proyeksi BI berkisar 4,8-5,8 persen.
Namun, sebagian kalangan masih menyangsikan hal tersebut. Pergerakan ekonomi masih bergantung pada penanganan Covid-19, yang sampai hari ini belum diketahui kapan mencapai puncak. Kenyataannya malah jumlah pasien baru, hampir tiap hari adalah rekor kasus terbanyak dibanding hari-hari sebelumnya. Mereka memperkirakan ekonomi Indonesia belum bisa sepenuhnya pulih di tahun 2021.
Sejumlah bisnis yang selama ini banyak menyerap produk unggas seperti hotel, restoran, dan katering, masih harus membatasi pemakaian daging unggas. Padahal, biaya operasional peternakan, seperti gaji karyawan, listrik, dan biaya tetap lainnya harus tetap dikeluarkan oleh peternak unggas.
BPS merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II tahun 2020 negatif 5,32 persen, dan sektor pertanian tumbuh positif 2,19 persen. Prestasi sektor pertanian ini kembali terulang di triwulan III, ekonomi negatif 3,49 persen, sektor pertanian tetap tumbuh positif 2,15 persen. Di Jambi sektor pertanian juga masih tumbuh positif. Sektor pertanian tetap bisa diandalkan tatkala perekonomian dan sektor lain terpuruk.
Mengapa di kala krisis atau resesi hadir, sektor pertanian selalu menjadi penyelamat ekonomi bangsa? Hal ini karena pangan adalah kebutuhan primer dan mendasar. Kebutuhan ini tidak bisa ditunda, semua orang membutuhkannya baik saat ada pandemi ataupun normal. Bahkan, sebagai benteng melawan Covid-19, saat terjadi wabah seperti sekarang ini, kita dianjurkan untuk menyantap makanan yang bergizi, agar imunitas tubuh kuat.
Karena itulah, jikapun tahun 2021 perekonomian belum sepenuhnya pulih, kebutuhan terhadap produk pertanian, termasuk di dalamnya produk unggas, seperti broiler dan telur (ayam buras, ras petelur, itik, itik manila, dan puyuh), tetap tidak tergantikan dan permintaan akan selalu tinggi.
Namun, sektor peternakan unggas, terutama daging ayam, pada 2021 ini masih rentan terhadap guncangan. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Pertama, surplus produksi masih berlanjut. Kabar menggembirakan bahwa, di tengah pandemi, usaha perunggasan yang semula belum masif seperti broiler, kini kian berkembang, seperti ternak ayam kampung dan puyuh. Angka mutakhir yang dirilis saat Rembug Perunggasan Nasional pada 10 Desember 2020, surplus produksi daging ayam pada Desember 2020 diperkirakan 18,7 persen. Sementara surplus telur ras pada 2021 (Kementan, 2020) mencapai 119.852 ton (2,4 persen).
Kedua, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Akibatnya, hasil produksi pertanian, termasuk unggas, tidak seluruhnya terserap pasar. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang di awal 2021 kembali digalakkan di Pulau Jawa-Bali sedikit banyak akan berpengaruh terhadap penyerapan hasil produk peternakan unggas.
Padahal, mereka ini yang menyerap produksi petani atau peternak. Akhirnya, terjadi diskoneksi supply-demand. Selain produk aneka sayuran, produk peternakan, baik telur maupun daging ayam, juga bernasib sama. Hasil pertanian atau peternakan yang tak terserap pasar membuat petani atau peternak kehabisan modal berproduksi pada musim berikutnya.
Harga produk hasil peternakan memberi andil besar terjadinya deflasi atau inflasi empat bulan beruntun, September-Desember 2020. Di Kota Jambi, komoditas hasil peternakan unggas berada pada peringkat pertama sebagai komoditas dominan memberi andil dan menyumbang terhadap deflasi atau inflasi.
September-Oktober telur ayam ras memberi andil tertinggi terhadap deflasi/inflasi, dan daging ayam ras menyumbang inflasi tertinggi di Kota Jambi pada November-Desember 2020. Deflasi beruntun pertanda terjadi depresi. Ini sinyal buruk karena taruhannya adalah kontinuitas produksi pangan atau ternak.
Hasil pertanian atau peternakan yang tak terserap pasar membuat petani atau peternak kehabisan modal berproduksi pada musim berikutnya. Jika mereka berhenti produksi dan terjadi dalam skala luas dan masif, tentu berujung pada ancaman ketersediaan pangan.
Jadi, dalam perang melawan penyebaran Covid-19, bukan hanya dokter, perawat, dan tenaga medis yang berada di garis terdepan, melainkan petani juga menjadi ujung tombak bangsa guna menjamin ketersediaan pangan.
Tahun 2021, pemerintah masih mengalokasikan anggaran besar untuk mitigasi pandemi. Anggaran kesehatan Rp 168,71 triliun dan perlindungan sosial Rp 421,71 triliun. Ada baiknya, sebagian anggaran pemulihan ekonomi nasional 2021 dialokasikan untuk menolong petani atau peternak.
Petani atau peternak juga perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan. Tahun 2020, anggaran pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp 695 triliun. Tapi, tak sepeser pun anggaran ini mengalir khusus ke petani atau peternak. Hal seperti ini harusnya tak terulang.
Karena itu, perlu segera dibuat aneka langkah guna melindungi petani atau peternak. Pertama, cara cutting dan afkir dini seperti saat ini, hanya menolong dalam jangka pendek. Ibarat memadamkan kebakaran, api memang padam, tapi sumber api setiap saat tetap mengancam. Lalu yang kedua, sembari menyelesaikan solusi jangka pendek, pemerintah dan otoritas pengawas persaingan usaha mesti fokus mendesain solusi jangka panjang, menuntaskan integrasi hulu-hilir yang fokus daya saing. Sehingga para peternak kita tetap bisa berkompetisi di tengah serangan daging unggas impor yang luar biasa.
Penulis : Budi Hartono, S.ST, M.Si.
(Subkoordinator Fungsi Statistik Keuangan dan Harga Produsen, BPS Provinsi Jambi)