Landasan Prinsip Hukum Syariah terhadap Asuransi di Indonesia

  • Bagikan

Oleh: Muhammad Haadi Nugraha, SH.MH

Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudhârabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan Pengawas Syariah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S Âli ‘Imran (3): 130. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Berdasarkan hukum untuk mempertanggungkan suatu risiko berkaitan dengan keuangan yang diakui secara sah oleh hukum, antara tertanggung dan suatu yang dipertanggungkan dan dapat menimbulkan hak dan kewajiban keuangan secara hukum. Ada beberapa prinsip-prinsip dalam asuransi, yaitu:

1. Utmost good faith, atau itikad baik dari kedua pihak, antara tertanggung dan penanggung.

2. Indemnity, atau ganti rugi. Artinya mengendalikan posisi keuangan tertangung setelah terjadi kerugian seperti pada posisi sebelum terjadinya kerugian tersebut.

3. Proximate cause, adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau beurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.

4. Subrogation, merupakan hak penanggung yang telah memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.

5. Contribution, suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya.

Ada dua jenis risiko yang dapat diasuransikan:

1. Takâful keluarga (asuransi jiwa), meliputi:

a. TakâfulBerencanaWaktu, Insurance and Islamic Law,

b. Takâful Pembiayaan,

c. Takâful Pendidikan;

d. Takâful Kolektif (asuransi kerugian), meliputi Takâful kebakaran,  Takâful kendaraan bermotor, Takâful kecelakaan diri, Takâful pengangkutan laut, darat, dan udara serta Takâful l rekayasa/engineering

Ada baiknya, kita mengutip pandangan ulama Islam terhadap eksistensi asuransi pada masa-masa awal sehingga melahirkan satu konsep yang disebut dengan asuransi takaful. Tujuannya sama dengan asuransi, namun beda dalam banyak praktek dan teori. Yang paling mengemuka dari pendapat-pendapat tersebut terbagi tiga, yaitu:

Pertama, Mengharamkan. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: Asuransi sama dengan judi, Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti,  Asuransi mengandung unsur riba/renten; dan Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi, Premi-premi yang sudah dibayarakan diputar dalam praktik-praktik riba,  Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

  • Bagikan